BATAM – sidikfokus.id – Dunia pelayanan kesehatan di Kota Batam kembali diguncang dengan mencuatnya kasus dugaan penelantaran pasien dalam kondisi gawat darurat oleh sebuah rumah sakit swasta ternama di kawasan Tanjung Uncang. Insiden ini menimbulkan gelombang keprihatinan masyarakat, sekaligus membuka tabir persoalan lama yang selama ini nyaris luput dari perhatian publik: lemahnya kepatuhan terhadap regulasi layanan darurat yang seharusnya menjadi prioritas utama di setiap fasilitas kesehatan.
Peristiwa bermula saat seorang warga membawa anggota keluarganya yang dalam kondisi lemas dan menunjukkan gejala medis serius ke rumah sakit tersebut. Alih-alih mendapatkan pertolongan pertama sesuai prosedur kegawatdaruratan, pihak rumah sakit diduga malah meminta keluarga pasien untuk kembali ke fasilitas kesehatan tingkat pertama guna mengurus surat rujukan. Hal ini sontak memicu kekhawatiran akan keselamatan jiwa pasien, yang saat itu sangat membutuhkan tindakan cepat dan tepat.
“Kami sangat kecewa dan tidak menyangka, rumah sakit justru menyuruh kami pulang hanya karena tidak ada surat rujukan. Padahal, kondisi pasien sudah sangat lemah,” ujar salah satu anggota keluarga pasien yang memilih tak disebutkan namanya. “Kalau sampai terjadi hal yang lebih buruk, siapa yang akan bertanggung jawab?”
Pernyataan ini menjadi cermin dari kekhawatiran masyarakat luas terhadap praktik pelayanan kesehatan yang semakin birokratis dan jauh dari semangat kemanusiaan. Dalam konteks hukum, tindakan yang dilakukan pihak rumah sakit tersebut sangat mungkin bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan.
Pasal-pasal dalam regulasi tersebut menegaskan bahwa rumah sakit, tanpa terkecuali, wajib memberikan pelayanan medis segera kepada setiap pasien yang berada dalam kondisi gawat darurat, tanpa harus menunggu prosedur administratif seperti rujukan. Hal ini ditegaskan agar setiap detik yang krusial dalam penanganan pasien tidak hilang hanya karena alasan kelengkapan dokumen.
Advokat Serukan Penegakan Hukum dan Evaluasi Kerja Sama Mitra BPJS
Advokat Jemi Prengki, S.H., selaku kuasa hukum keluarga pasien, mengungkapkan bahwa tindakan yang dilakukan rumah sakit bukan saja bertentangan dengan etika medis, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai kelalaian hukum yang berpotensi membahayakan keselamatan pasien.
“Dalam situasi gawat darurat, menyuruh pasien pulang hanya karena tidak membawa rujukan adalah pelanggaran serius terhadap Permenkes 47/2018. Pelayanan medis tidak boleh ditunda, apalagi dengan alasan administratif. Rumah sakit sebagai institusi penyelamat nyawa tidak bisa bersembunyi di balik prosedur,” tegas Jemi.
Dirinya juga mendesak agar Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan Dinas Kesehatan Kota Batam segera mengambil langkah konkret dengan melakukan investigasi menyeluruh terhadap rumah sakit yang bersangkutan. Bila terbukti melanggar, bukan hanya sanksi administratif yang harus dijatuhkan, melainkan juga evaluasi ulang terhadap kerja sama rumah sakit tersebut dengan BPJS Kesehatan.
Pola Pelayanan yang Birokratis: Gejala Sistemik di Rumah Sakit Mitra BPJS?
Insiden ini memperkuat keluhan lain yang kerap dilontarkan masyarakat terkait pelayanan rumah sakit mitra BPJS. Salah satu yang paling sering disuarakan adalah dugaan pemulangan pasien yang belum sembuh sepenuhnya karena dianggap telah melewati batas waktu rawat inap yang ditetapkan dalam sistem klaim. Pasien kemudian diarahkan untuk kembali ke puskesmas guna memulai proses rujukan dari awal, meski kondisi kesehatannya masih belum stabil.
“Pasien bukan angka klaim yang bisa ditentukan berdasarkan hari. Mereka manusia yang butuh penyembuhan optimal. Ketika prosedur menjadi penghalang keselamatan, maka yang harus dikoreksi adalah sistem, bukan manusianya,” ungkap salah satu tokoh masyarakat yang aktif dalam advokasi kesehatan di Batam.
Ia juga menekankan bahwa BPJS Kesehatan tidak boleh hanya menjadi pengelola dana dan sistem klaim, tetapi harus aktif mengawasi kualitas layanan yang diberikan oleh mitra-mitranya. Sistem harus berpihak pada nyawa, bukan angka.
Desakan Reformasi dan Sistem Pelaporan Darurat yang Transparan
Masyarakat kini mendesak pemerintah untuk menghadirkan sistem pelaporan dugaan pelanggaran medis yang lebih terbuka dan responsif. Setiap keluhan harus ditindaklanjuti secara cepat dan profesional agar tidak terjadi pembiaran yang berdampak pada nyawa warga.
Lebih jauh, publik menyerukan agar Kementerian Kesehatan melakukan audit menyeluruh terhadap SOP (Standard Operating Procedure) pelayanan kegawatdaruratan di seluruh rumah sakit mitra BPJS, terutama di wilayah-wilayah padat seperti Batam. Evaluasi ini penting untuk memastikan bahwa prinsip keselamatan pasien menjadi prioritas utama, bukan prosedur birokratis semata.
“Kalau terbukti melanggar, jangan ragu untuk mencabut izin operasional rumah sakit tersebut,” pungkas Jemi Prengki, dengan nada tegas.
Kesimpulan: Nyawa Pasien Bukan Sekadar Prosedur
Kasus di Batam ini adalah pengingat keras bahwa sistem pelayanan kesehatan tidak boleh mengabaikan esensi utama dari keberadaannya: menyelamatkan nyawa. Ketika rumah sakit gagal menjalankan fungsinya di saat paling krusial, maka wajar jika masyarakat meragukan kredibilitas sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Redaksi sidikfokus.id akan terus mengawal kasus ini, dan menyerukan agar pemerintah, BPJS Kesehatan, serta seluruh pemangku kepentingan melakukan refleksi mendalam dan reformasi sistematis terhadap layanan medis di Indonesia. Karena pada akhirnya, setiap pasien adalah nyawa, bukan sekadar bagian dari sistem klaim.(Yti)