BATAM – Upaya mediasi yang diharapkan menjadi titik terang dalam penyelesaian kasus dugaan malpraktik di RS Jasmine, Batam, berakhir tanpa hasil. Mediasi yang digelar pada Selasa (10/6) dan difasilitasi oleh sejumlah lembaga terkait seperti Dinas Kesehatan Kota Batam, Ombudsman, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), serta Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), gagal mencapai kesepakatan yang memuaskan pihak keluarga korban.
Kuasa hukum keluarga korban, Agus Simanjuntak, menyatakan kekecewaannya atas tidak adanya itikad baik dari pihak RS Jasmine untuk membuka ruang dialog yang jujur dan evaluatif terhadap prosedur medis yang diduga menjadi penyebab meninggalnya seorang pasien peserta BPJS Kesehatan. Menurut Agus, sejak awal keluarga korban bersikap kooperatif dan berharap ada penyelesaian secara kekeluargaan, namun tanggapan dari rumah sakit justru menunjukkan sikap tertutup dan defensif.
"Kami datang bukan untuk mencari musuh. Kami hanya ingin kejelasan dan tanggung jawab atas insiden yang telah merenggut nyawa anggota keluarga kami. Sayangnya, rumah sakit menutup pintu evaluasi dan enggan mengakui kemungkinan adanya kelalaian," ujar Agus.
Dalam proses mediasi, pihak RS Jasmine dikabarkan enggan mengungkap hasil audit internal maupun memberikan klarifikasi mengenai prosedur yang dilakukan oleh tim medis saat menangani pasien. Penolakan ini memicu kekecewaan mendalam dari keluarga korban yang merasa bahwa nyawa manusia diperlakukan seolah-olah sebagai data statistik semata.
Tidak hanya itu, Agus juga menuding IDI bertindak prematur dalam menyimpulkan bahwa tindakan medis telah sesuai prosedur, meski belum ada upaya untuk mendengarkan kronologi versi keluarga. “Audit yang objektif tidak mungkin terwujud jika hanya mendengarkan satu sisi. Bagaimana keadilan bisa ditegakkan jika suara keluarga korban tak diakomodasi?” tegasnya.
Peserta mediasi lainnya turut menyesalkan ketidakhadiran Ketua IDI Batam dalam forum tersebut, meskipun ia adalah pihak yang menandatangani surat tanggapan resmi sebelumnya. Kekecewaan juga diarahkan kepada BPJS Kesehatan yang dinilai pasif dalam merespons laporan dan dokumen pendukung yang telah diserahkan oleh keluarga.
"Surat somasi, bukti medis, hingga kronologi kejadian sudah kami kirimkan ke semua instansi. Namun hingga kini, belum ada tindak lanjut berarti. Ini bukan sekadar persoalan administrasi—ini tentang nyawa, tentang keadilan untuk pasien," ungkap salah satu anggota keluarga korban.
Kasus ini pun menyulut reaksi publik yang mempertanyakan efektivitas pengawasan pemerintah terhadap mutu pelayanan kesehatan, terutama bagi pasien peserta BPJS. Sejumlah tokoh masyarakat menuntut Wali Kota Batam agar turun tangan secara langsung dan menunjukkan keberpihakan terhadap warga yang menjadi korban ketidakadilan dalam sistem layanan kesehatan.
"Jangan sampai kasus ini berakhir tanpa tanggung jawab yang jelas hanya karena korban adalah pasien BPJS. Kami berharap kepala daerah bersikap tegas seperti yang dilakukan beberapa gubernur atau wali kota lain dalam menghadapi kasus-kasus serupa," ujar seorang tokoh masyarakat Batam.
RS Jasmine, melalui keterangan singkat, menyatakan akan menyampaikan keputusan final mengenai kelanjutan proses mediasi paling lambat pada Sabtu mendatang. Namun keluarga korban menegaskan bahwa jika tidak ada langkah konkret dalam waktu dekat, mereka siap membawa kasus ini ke jalur hukum, termasuk ke tingkat nasional jika diperlukan.
Peristiwa ini menjadi pengingat penting bahwa perlindungan terhadap hak-hak pasien tidak boleh bergantung pada status ekonomi atau jenis kepesertaan jaminan kesehatan. Transparansi, akuntabilitas, dan kesetaraan harus menjadi prinsip utama dalam sistem pelayanan medis yang berkeadilan.(Nur)