📰 Aliansi Gerakan Bersama (GEBER) Kepri Ultimatum DPRD Provinsi Kepulauan Riau


Tanjungpinang, 27 September 2025 – Gelombang ketidakpuasan terhadap kinerja lembaga legislatif kembali mencuat di Kepulauan Riau. Aliansi Gerakan Bersama (GEBER) Kepri secara tegas mengeluarkan ultimatum kepada Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau setelah janji hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 23 September 2025 tidak kunjung ditindaklanjuti.


Dalam forum resmi tersebut, Ketua DPRD Kepri berjanji bahwa dalam waktu dua kali dua puluh empat jam atau lebih kurang 48 jam setelah RDP, akan segera dilaksanakan pembahasan lanjutan yang ditutup dengan keputusan signifikan. Komitmen itu dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani Ketua DPRD bersama para koordinator GEBER Kepri serta turut disaksikan pejabat terkait seperti Kepala Dinas PUPR, Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Satpol PP, perwakilan BKAD, serta anggota DPRD Dapil Kota Tanjungpinang termasuk Ketua Komisi II, Drs. Khazalik.


Namun, hingga melewati tenggat yang dijanjikan, tak satu pun undangan, kabar, atau pemberitahuan resmi diterima aliansi. Situasi ini dinilai sebagai pengingkaran komitmen dan bentuk pelecehan terhadap mekanisme dialog publik. Padahal, DPRD sebagai representasi rakyat seharusnya menjunjung tinggi nilai transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan.


GEBER Kepri sebelumnya telah menunjukkan itikad baik dengan menunda aksi unjuk rasa yang semula direncanakan pada 24 September 2025. Penundaan itu bahkan dilaporkan secara resmi kepada Polres Tanjungpinang sebagai bukti kesungguhan aliansi untuk memberi ruang kepada Ketua DPRD agar menepati janji. Namun, lebih dari 48 jam berlalu, tidak ada satu pun respons resmi, baik dari DPRD maupun dari Gubernur Kepulauan Riau.


Sejumlah pengamat menilai situasi ini menjadi bukti lemahnya konsistensi lembaga politik di daerah. Pengamat politik, menegaskan bahwa pengingkaran komitmen publik adalah masalah serius. “Ketika DPRD gagal menindaklanjuti hasil RDP, publik akan kehilangan kepercayaan. Janji politik yang tidak ditepati bukan hanya mencederai dialog, tapi juga merusak legitimasi kelembagaan,” ujarnya.


Sementara itu, akademisi hukum tata negara, Prof. Syarifah Hanum, menyebut bahwa RDP yang tidak ditindaklanjuti dapat berimplikasi pada penilaian publik mengenai integritas wakil rakyat. “Berita acara yang ditandatangani adalah dokumen resmi. Mengabaikannya sama dengan mengabaikan kontrak moral dengan masyarakat,” tegasnya.


Aliansi Gerakan Bersama Kepri menilai kondisi ini tidak bisa lagi ditoleransi. Karena itu, mereka menyatakan siap menggelar aksi besar pada 2 Oktober 2025 di Kantor DPRD maupun Kantor Gubernur Provinsi Kepri. Aksi ini disebut bukan sekadar unjuk rasa, melainkan bentuk peringatan keras terhadap pengingkaran komitmen politik yang disampaikan langsung Ketua DPRD pada pukul 17.25 WIB di ruang rapat RDP.


Pakar kebijakan publik, Dr. Irwan Santosa, menilai langkah GEBER Kepri sebagai bentuk koreksi sosial yang wajar. “Kalau ruang dialog dilecehkan, maka aksi adalah konsekuensinya. Justru bahaya jika masyarakat diam, karena itu berarti ketidakpuasan disalurkan tanpa mekanisme demokrasi,” ujarnya.


Dalam pernyataan sikapnya, GEBER Kepri menegaskan bahwa perjuangan mereka bukanlah kepentingan kelompok, tetapi tanggung jawab moral dalam menjaga ruang publik dari pengabaian. Mereka juga memperingatkan bahwa jika ada oknum internal yang menyalahgunakan perjuangan ini untuk kepentingan pribadi, maka hal tersebut tidak sportif dan akan ditindak tegas.


“Komitmen publik adalah janji suci yang wajib ditepati. Kami datang bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan. Tapi jika terus diabaikan, kami siap mengambil langkah yang lebih tegas,” ujar salah satu koordinator aksi.


Jika ultimatum ini diabaikan, para pakar memperkirakan akan muncul krisis kepercayaan publik terhadap DPRD dan Gubernur Kepri. Krisis ini dapat berdampak pada stabilitas politik daerah, terutama menjelang agenda-agenda penting seperti pembahasan anggaran dan program pembangunan strategis.


Dr. Rahmat Abdullah menambahkan, “Masyarakat yang merasa dibohongi akan sulit percaya lagi pada komitmen pejabat publik. Efeknya bisa panjang, bukan hanya pada DPRD, tapi juga terhadap legitimasi pemerintah daerah secara keseluruhan.”


Di sisi lain, pengabaian terhadap hasil RDP juga bisa memperlebar jarak antara rakyat dengan wakilnya, menimbulkan sikap apatis politik, bahkan memicu gelombang aksi beruntun yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial.


Dengan demikian, ultimatum GEBER Kepri tidak bisa dipandang sebagai gertakan semata. Ia adalah indikator bahwa kesabaran publik memiliki batas. Apa yang telah diucapkan di ruang rapat DPRD harus dijalankan, bukan dipendam. Jika tidak, 2 Oktober 2025 berpotensi menjadi momentum yang mengubah arah dinamika politik di Kepulauan Riau."redaksi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler