Jakarta, 12 Juli 2025 — Di balik sunyinya langkah kaki yang menyusuri lorong-lorong kampus Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA), terdapat sosok perempuan yang keberadaannya mungkin sering luput dari perhatian. Ia bukan akademisi, bukan pula mahasiswa, tetapi tanpa kehadirannya, denyut aktivitas kampus tak akan pernah sama. Namanya Dwi Handayani Tinggal — seorang ibu, pejuang kehidupan, dan penjaga keamanan yang tak hanya menjaga pintu gerbang kampus, tetapi juga menjaga harapan, martabat, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dwi lahir di Ciracas, Jakarta Timur, pada 27 Desember 1985. Terbiasa hidup dalam kesederhanaan, ia ditempa oleh nilai-nilai kemandirian sejak usia dini. Pendidikan dasarnya ditempuh di SDN Susukan 05, berlanjut ke SMPN 106, lalu menamatkan SMK di Wijaya Kusuma pada 2004. Sejak muda, ia telah belajar bahwa hidup tidak akan selalu memberi kenyamanan, tetapi selalu menawarkan pilihan: menyerah atau bertahan.
Tahun 2007, ia membangun rumah tangga dan dikaruniai dua anak. Namun seperti alur takdir yang tak selalu sesuai harapan, pernikahan itu berujung perpisahan. Patah, tapi tidak hancur — Bu Dwi memilih berdiri, membersihkan luka, dan berjalan kembali dengan kepala tegak. Tahun 2021 menjadi titik terang baru: ia menikah untuk kedua kalinya dan kembali mendapat anugerah seorang buah hati yang menyulut semangatnya sebagai ibu sekaligus perempuan pekerja.
Di tahun yang sama, UHAMKA membuka pintu baginya. Ia diterima sebagai tenaga pengamanan kampus. Pekerjaan yang bagi sebagian orang tampak biasa, tetapi bagi Dwi, itulah tempat ia menambatkan makna. “Menjadi sekuriti bukan hanya tentang menjaga gerbang. Ini tentang membangun kepercayaan, merawat interaksi, dan menjadi bagian dari kehidupan orang lain,” ucapnya dengan mata yang tak pernah kehilangan semangat.
Dengan seragam yang ia kenakan setiap hari, Bu Dwi tidak hanya hadir sebagai penjaga fisik kampus. Ia hadir sebagai penjaga suasana, ketertiban, dan kadang — secara tak sadar — penjaga semangat bagi banyak orang. Ia menyambut mahasiswa dengan senyum, membantu dosen dengan sigap, dan menyapa siapa pun yang datang dengan hati. Di tengah kesibukan akademik yang kerap individualistik, kehadirannya adalah pengingat bahwa keramahan adalah bentuk peradaban.
Dalam sebuah perbincangan hangat bersama Nursalim, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, Bu Dwi membuka lembar-lembar hidupnya yang selama ini tersembunyi di balik dinding diam. “Saya ingin anak-anak saya tahu, bahwa ibunya pernah terluka, pernah jatuh, tapi tidak pernah berhenti berjuang,” ungkapnya lirih namun penuh keteguhan.
Nursalim, yang dikenal sebagai jurnalis humanis, mengakui bahwa kisah Bu Dwi menyentuh ruang terdalam nuraninya. “Ia adalah wajah lain dari kekuatan perempuan Indonesia. Bukan dalam pidato, bukan dalam panggung megah, tapi dalam keseharian yang dijalani dengan integritas dan cinta,” ujarnya.
Kisah ini bukan sekadar potret satu orang. Ini adalah cermin dari banyak perempuan Indonesia yang memilih untuk tidak menyerah pada nasib, yang bekerja dalam sunyi tapi membangun arti. Dwi Handayani bukan hanya sekuriti UHAMKA — ia adalah penjaga kehidupan dalam arti yang paling manusiawi.
Di dunia yang kerap memburu popularitas dan kekuasaan, kisah Bu Dwi mengajarkan bahwa kemuliaan bisa lahir dari kesetiaan pada tugas sederhana, dari keberanian untuk tidak menyerah, dan dari cinta yang tidak pernah padam — terutama kepada anak-anak, kepada pekerjaan, dan kepada kehidupan itu sendiri.
Ditulis oleh:
Nursalim
Ketua Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWO Indonesia)
Provinsi Kepulauan Riau (Yanti)