Rempang, Kepri, dan Krisis Kepemimpinan: Ir. Nazar Machmud Menggugat Arah Sejati Perjuangan Daerah


 

Tanjungpinang — Ketegangan antara pemerintah dan masyarakat adat di Pulau Rempang belum kunjung reda. Luka sosial yang ditinggalkan oleh penggusuran dan intimidasi aparat belum sepenuhnya sembuh. Namun di tengah polemik itu, Badan Pengusahaan (BP) Batam kembali meluncurkan wacana ekspansi besar-besaran ke 124 pulau di sekitar Batam. Langkah ini sontak memantik gelombang kekhawatiran baru, bukan hanya karena ancaman lanjutan terhadap masyarakat pesisir dan adat, tetapi juga karena semakin kaburnya arah keberpihakan elite daerah terhadap cita-cita awal pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).


Salah satu suara paling nyaring yang mempertanyakan legitimasi arah kebijakan ini adalah Ir. H. M. Nazar Machmud, tokoh sentral pembentukan Provinsi Kepri. Nazar, yang oleh kalangan dekat dijuluki Si Serai Kepri karena keteguhannya, menyebut proyek Rempang Eco City sebagai titik balik yang membongkar wajah sesungguhnya dari relasi kekuasaan di Kepri. Bagi Nazar, proyek ini adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap masyarakat adat Rempang sekaligus penghianatan terhadap nurani budaya Melayu.


"Yang terjadi bukan sekadar penggusuran, tapi perampasan identitas, sejarah, dan harga diri orang Melayu," ujar Nazar. Ia menilai bahwa kekuasaan hari ini telah kehilangan arah sejarah dan telah menjauh dari amanah perjuangan 15 Mei 1999—sebuah deklarasi yang menjadi fondasi lahirnya Provinsi Kepri.


Ir. Nazar Machmud adalah Penasihat Badan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR), yang sejak 1999 telah aktif merintis pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk pemekaran Kepri. Ia turut mengawal proses hingga pengesahan Kepri sebagai provinsi pada tahun 2002. Semangat awal perjuangan itu, menurutnya, bukan sekadar membentuk pemerintahan baru, tetapi membangun struktur yang mampu mempercepat kesejahteraan rakyat Kepri, khususnya masyarakat lokal, pesisir, dan adat. Kini, dua dekade lebih berlalu, Nazar melihat semangat itu telah dibelokkan oleh elite yang lebih sibuk mengejar proyek dan kekuasaan, ketimbang mendengar suara rakyat.


Kritik H. M. Nazar Machmud tidak berhenti pada BP Batam yang dianggapnya telah berperan seperti VOC versi modern. Ia menyebut bahwa lembaga ini telah mengatur ruang hidup rakyat tanpa mekanisme demokrasi dan kontrol sosial yang memadai. "Apa bedanya BP Batam dengan VOC? Sama-sama menjajah, mengatur wilayah yang sebenarnya punya hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri," tegasnya.


Untuk memperkuat komitmennya pada perjuangan rakyat, H.M.Nazar Machmud bahkan mengutus putrinya, Nina Nazar—Sekretaris BP3KR di Jakarta—untuk berdialog langsung dengan para emak-emak di Rempang. Langkah ini menunjukkan bahwa perjuangan yang ia bangun bukan sekadar nostalgia sejarah, tapi komitmen yang terus hidup, diwariskan, dan dijalankan dalam tindakan nyata.


Pengamat politik daerah dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr. Muhammad Iskandar, turut menyampaikan pandangan senada. Ia menyebut bahwa krisis Kepri hari ini diperparah oleh absennya kepemimpinan visioner di tingkat lokal. "Masih banyak kepala daerah dan anggota DPRD yang bermental pembebek. Mereka tunduk begitu saja pada kehendak pusat tanpa mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat Kepri," ujarnya. Iskandar membandingkan situasi Kepri dengan Aceh, di mana Gubernur Aceh mampu berdiri lantang membela hak-hak masyarakat adatnya tanpa harus berseberangan dengan pusat.


Hal yang menggelisahkan, menurut Iskandar, adalah bagaimana sebagian elite politik Kepri berlindung di balik narasi "keputusan pusat tidak bisa dilawan" sebagai dalih untuk tidak bersuara. Padahal, kata dia, memperjuangkan keadilan dalam bingkai NKRI bukanlah tindakan makar, melainkan kewajiban konstitusional pemimpin daerah.


Situasi ini juga mencerminkan tarik-menarik antara warisan kebijakan Presiden Jokowi dan konsolidasi kekuasaan Presiden Prabowo Subianto. Meski Presiden Prabowo secara terbuka menyatakan menolak penjualan gas ke Singapura dan mencabut status Proyek Strategis Nasional (PSN) dari Rempang, faktanya proyek itu tetap berjalan di lapangan. Bahkan, Wakil Gubernur Kepri masih terang-terangan menunjukkan dukungan terhadap proyek tersebut, menandakan bahwa arah kekuasaan pusat belum benar-benar menyatu di era baru pemerintahan ini.


Prof. Erna Sari Dewi dari CSIS menyebut bahwa elite daerah Kepri telah kehilangan arah perjuangan ideologis. Menurutnya, mereka tidak memiliki peta jalan pembangunan yang berbasis pada karakteristik wilayah sendiri. "Kepri adalah wilayah kepulauan. Seharusnya pembangunannya berbasis laut dan komunitas pesisir. Tapi studi seperti yang ditawarkan oleh ILGOS (Institute for Local Government Studies) tidak pernah dilirik," tegasnya. 


Ir. Nazar Machmud sendiri menyayangkan tidak adanya kepala daerah yang mau mengundang ILGOS untuk merancang strategi pembangunan jangka panjang. "Kita punya ilmu, punya peta jalan, tapi tak dimanfaatkan. Jangan terlalu berharap pada pemimpin formal Kepri," tambahnya.


Dalam suasana kekecewaan terhadap elite daerah, Nazar justru melihat harapan pada kebangkitan masyarakat sipil. Ia menyerukan agar anak muda, akademisi, komunitas adat, dan warga biasa mulai mengambil peran lebih besar. "Kita tak perlu menunggu nama besar atau panggung politik. Yang penting adalah menggerakkan kesadaran bersama bahwa Kepri ini milik rakyat, bukan milik investor atau elite partai," ujarnya.


Ruh dari perjuangan pembentukan Provinsi Kepri, lanjutnya, adalah Deklarasi 15 Mei 1999. Ruh itu tak pernah bicara soal PDB atau angka pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama keberhasilan. Yang lebih penting adalah bahwa setiap individu masyarakat Kepri merasa cukup, punya uang di kantongnya ketika ingin membeli sesuatu, dan merasa aman hidup di tanah leluhurnya.


H.M. Nazar Machmud  menutup refleksinya dengan sebuah prinsip hidup yang ia pegang erat: SIS — Sabar, Ikhlas, dan Syukur. Prinsip ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan strategi bertahan di tengah gelombang ketidakadilan dan kekecewaan terhadap para pemimpin yang abai terhadap rakyat.


Kini, tantangan Kepri bukan lagi hanya soal menolak ekspansi BP Batam atau membela Rempang. Tantangan terbesar adalah mengembalikan arah pembangunan provinsi ini ke jalur perjuangan semula: kesejahteraan rakyat, kehormatan budaya, dan keberdaulatan ruang hidup masyarakat lokal. Sebuah tugas yang hanya bisa dijalankan jika rakyat Kepri, terutama orang-orang Melayu yang tercerahkan, bersatu dan bergerak dengan kesadaran sejarah yang utuh."(Arf)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler